Karya : Eka Kurnia <<<>>>
Pernah tidak kamu di fase nyaman banget dengan suatu kondisi sampai-sampai kamu tidak ingin beranjak dari kondisi itu?. Yah maybe kamu pernah nyaman banget duduk diam menatap langit lepas dengan alunan musik yang terus berputar disudut kamar di atas meja putih yang penuh tumpukan kertas hasil coretan ibu/bapak dosen? Atau kamu pernah nyaman banget rebahan diatas kasur berseprei putih dengan motif bunga mawar merah dengan aroma khas di ruangan kamu, sampai berat rasanya mensugesti diri beranjak ke toilet membersihkan diri?. Atau mungkin kamu pernah di fase nyaman banget kerja ngumpulin duit nikahan sampai lupa makan bahkan minum?.
Nah zona nyaman adalah kondisi dimana seseorang merasa nyaman dan aman dengan aktivitasnya, lingkungannya, dan tidak jarang banyak yang mengartikan jika orang yang berada pada zona nyaman berarti ia takut untuk mencoba sesuatu hal yang baru (takut gagal). Alasdair A. K. White dalam bukunya From Comfort Zone to Performance Management (Abe Sagara : 2019) menjelaskan bahwa zona nyaman adalah sebuah keadaan dimana seseorang merasa terbiasa dan nyaman karena mampu mengontrol lingkungannya. Singkat kata, zona nyaman berhubungan dengan psikologi seseorang.
Yap zona nyaman, pernah dong dengerin lagu fourtwnty “zona nyaman”, liriknya kurang lebih kaya gini,
“ pagi ke pagi ku terjebak di dalam ambisi
seperti orang orang berdasi yang gila materi
rasa bosan membukakan jalan mencari peran
keluarlah dari zona nyaman,…..”
But it’s not about a song.
Kisah ini bermula dari seorang laki-laki yang tinggal di kampung nan jauh dari kota, Ia Hasan seorang pemuda yang menuntut ilmu di kota sana. Hasan khas dengan tubuhnya yang tinggi berkulit hitam manis dan bersih, matanya sedikit sipit tampak seperti keturunan cina, ia khas dengan jaket coklat tua menutup tubuhnya, sesekali terletak acak pada pundaknya. Di kampus, ia terkenal dengan gelar gamers sejati, sementara di kampung ia terkenal sebagai pemuda yang tak kunjung sarjana.
Sebagai mahasiswa semester akhir, Hasan terbebani dengan penyusunan tugas akhir yang tak kunjung usai. Ibunya terus bertanya “Kapan Hasan wisuda?”, “Kan udah semester 13, kok belum selesai?”. Hasan yang terbebani dengan tumpukan pertanyaan, dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, harapnya ia bisa fokus mengerjakan tugas akhirnya dengan tenang.
Pulanglah Hasan menuju kediaman ibunya. Pada jalan aspal mulus, bergeraklah roda dua menuju kampung gelap tanpa penerangan di malam hari, Hasan tetap mengendarai motor merah tua dengan alunan musik iwan fals’
“Sampai saat tanah moyangku
tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota
terlihat murung wajah pribumi
terdengar langkah hewan bernyanyi,….”
Suara jangkrik dan hewan lainnya, khas suasana desa di malam hari turut serta menemani Hasan, helm hitam tua turut serta menemani Hasan, ia sedikit menggigil meskipun jaket coklat tua turut serta menutup tubuhnya.
Aspal kali ini berbeda, ia tak lagi mulus, ada banyak kumpulan bebatuan dan lubang yang tak terlihat di malam hari, ini bukan karena kendaraan penduduk yang banyak akan tetapi ada tambang di kampung Hasan. Tak ada penerangan sepenjang jalan berbatu, sesekali terlihat cahaya lampu tepat di ruang tengah setiap rumah yang terlewati. Hanya saja, rumah di kampung tak begitu ramai, seramai di kota.
Biasanya Hasan ketika melewati jalan ini menuju kediamannya di sore hari 3 tahun yang lalu, ia menghabiskan waktu menatap lepas sawah nan hijau bersama jingga di ujung langit, tak terlupa sebatang rokok terisap nikmat dengan gumpalan asapnya yang acak.
Pukul 19.30, rumah penduduk mulai tampak gelap seperti tak ada tanda kehidupan. Kecuali truk-truk yang sesekali menampakkan cahaya.
“Haaaa, semoga ibu belum tidur” ketus Hasan dalam hati.
Klakson berbunyi 3 kali, pertanda Hasan telah tiba di rumah Ibunya. Keluarkan seorang perempuan berkulit putih halus menuju motor yang terparkir di pinggir jalan, dengan senyum mereka menyapa anak yang baru tiba dari kota. Nasi panas dan sayur bening ternyata telah menanti Hasan, tanpa banyak pertanyaan Ibu mengajak Hasan untuk menyantap makan malam bersama.
Penerangan satu persatu mulai padam, kecuali yang ada dikamar Hasan. Gadget horizontal tepat di tangan kiri Hasan dengan sebatang rokok di tangan kanan menjadi teman setianya, ia menghabiskan waktu hingga pukul 03.58 a.m dengan bermain game online beserta rokok dan secangkir kopi hitam pekat. Malam telah usai ditandai sang surya menyapa bumi dan penduduknya.
Ibu membangunkan Hasan yang terbaring diatas seprei putih kusam dengan sedikit gambar bola teratur dengan baik.
“ Hasan, bangun yuk ayo shalat sama ibu”, kata ibu yang berusaha membangunkan putranya.
Tak ada respon, Hasan tertidur pulas dengan gadget di tangan kanannya. Kemudian ibu meninggalkan Hasan menuju ruang tanpa pemisah, dapur dan toilet. Membasuh jari jemari hingga wudhu sempurna, lalu menuju ruang tanpa pintu. Diruang tersebut, Ibu Hasan menggelarkan sajadah lalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Pukul 11.45 p.m,
Hasan terbangun dengan notif di gadgetnya, pesan dari temannya.
“Hasan, Mabar kuy” katanya
Terbangunlah Hasan dengan rambut acak, matanya belum terbuka sempurna bahkan panda-panda terlihat jelas pada wajahnya. Tanpa bergerak dari ranjangnya, Hasan memutar gadgetnya lalu terdengarlah “welcome to mobile legend”. Jam dinding di ruang tengah telah menunjukkan pukul 13.45 WIB, namun Hasan tetap dengan aktivitasnya gadget horizontal.
Rintik hujan merayu-rayu Hasan untuk kembali tidur tanpa sesendok nasi yang terkunyah oleh mulutnya. Selimut tertarik kembali, sementara Ibu Hasan sibuk menjahit pesanan tetangga setelah berusaha memanggil putranya sarapan dan makan siang. Sesekali rasa kesal dan kecewa pada putrinya mampir pada hati dan pikirannya, tapi tetap saja rasa sayangnya melampui kesal dan kecewanya.
Nyanyian alat berat di sungai tak jauh dari depan rumah Hasan, truk-truk bergantian mengangkut pasir, krikil hingga bebatuan. Tak ada risih dibenak Hasan, pikirannya hanya tertuju pada gamenya, sementara tujuannya kembali ke kampung adalah menyelesaikan tugas akhirnya dengan fokus.
Seminggu telah berlalu, Hasan yang setiap hari dengan aktivitas yang sama menjadikan Ibunya sedih, kesal dan kecewa, bahkan harus bekerja lebih keras karena permintaan Hasan yang semakin menjadi-jadi sebab game membutuhkan uang untuk menggunakannya. Bagi Hasan gadget dan game adalah segalanya, di kota maupun di kampung aktivitasnya tetap sama. Kuliah tak jalan, tugas akhir tak kelar-kelar, makan tak terurus sampai pada titik ibunya hanya bisa menangis dengan putranya yang candu akan gadget dan game. Sementara beberapa penduduk mulai resah dengan tambang yang berakibat pada gagalnya panen padi karena kebutuhan air yang tak terpenuhi. Dan Hasan tetap dengan gadget dan gamenya, tugas akhir jalan ditempat.
Yap tulisan ini hanya sedikit menggambarkan tentang seorang pemuda yang terjebak pada zona nyaman. Harapan penulis semoga ada hal positif yang di dapat oleh pembaca dari tulisan ini.
0 Komentar